Tuesday, October 27, 2015

Menanti Hujan Reda

Bismillah... 'nemu' bacaan bagus nih :)
Mungkin saat ini keadaan justru sebaliknya. Bukan "Menanti Hujan Reda" tetapi justru "Menanti Hujan Turun"..
Tetapi taukah? Semoga bacaan tersebut dapat menjadi 'pengingat' ketika DIA sudah berkehendak untuk menurunkan hujan serta mendatangkan musim hujan, maka tak ada lagi satu pun orang yang justru malah mengeluh karenanya.
Yaaa.. manusia mah bisa apa sih? Tetap yakin dan berbaik sangka sama Allah, karena DIA tuh tau banget deh apa yang terbaik buat hamba-Nya. InsyaaAllah :)
#PrayForIndonesia #Pray4Indonesia

Selamat membaca :)

***

AISYI tertegun. Ia memandangi rintik hujan di luar yang semakin deras turun. Sementara Bunda yang sedang membersihkan rumah sekali-sekali melirik ke arahnya. Berulang kali Aisyi melirik jam mungil di pergelangan tangan kirinya. Matanya tidak lepas dari rintik hujan.

Ketika sudah lewat hampir 15 menit, Aisyi menurunkan tas yang sudah digendongnya. Mulutnya mengeluarkan bunyi “Hhhhh” yang panjang.

“Kenapa?” Bunda akhirnya bertanya demi melihat putri tersayangnya tampak seperti sedang kesal.

Aisyi menatap Bunda. “Itu Bunda, hujannya kok tidak berhenti-henti. Kalau begini, Aisyi jadi tidak bisa pergi…”

Bunda tersenyum, “Lho, kamu kan bisa pakai payung….”

“Iya tapi coba Bunda lihat, anginnya besar sekali. Mana sudah mau meluap lagi airnya….” Mulut Aisyi sedikit manyun sekarang.

Bunda tertawa kecil.

“Lho Bunda kok malah tertawa sih? Aisyi sudah telat setengah jam nih…”

“Memangnya kamu ada acara apa sih hari Minggu ke sekolah segala?” Tanya Bunda yang kemudian duduk di samping Aisyi.

“Besok Aisyi jadi petugas upacara. Sekarang kan perlu berlatih sama teman-teman…”

Bunda merapikan kerudung kecil Aisyi yang masih terus memandang ke luar. Anak kelas 4 SD itu berharap hujan akan segera berhenti.

“Dari kemarin pagi hujan terus. Jalanan kan jadi becek Bunda…, dan kita tidak bisa kemana-mana…”

Bunda tersenyum. Ia mendekap putri tersayangnya itu. “Aisyi, Aisyi…. Kamu ingat sesuatu?”

“Apa Bunda?”

“Apa yang terjadi beberapa bulan kemarin?”

Aisyi mengerutkan kening, berusaha untuk mengingat-ingat sesuatu. “Apa ya?”

Bunda tertawa kecil, “Nah anak Bunda sekarang pelupa deh…”

Aisyi memandangi wajah Bunda lama. “Apa sih Bunda?”

“Aisyi,” ujar Bunda,
“Kamu tahukan kalau sebelum dua bulan yang lalu hampir tidak pernah hujan sekalipun?”

Aisyi mengangguk.

“Nah, sekarang kok diturunkan hujan oleh Allah, Aisyi malah jadi kesal…”

“Iya tapi inikan tidak berhenti dari kemarin Bunda…. Jadinya kita sulit ke luar rumah…”

“Hei sayang, dulu kamu pernah berdoa supaya diturunkan hujan. Supaya kamu bisa hujan-hujanan. Supaya kamu tidak kepanasan….”

Aisyi sekarang terdiam.

“Nah sekarang, setelah hujannya selalu turun mestinya kamu bersyukur deh…”

“Begitu Bunda?”

Bunda mengangguk. “Kamu tahu sayang, hujan yang turun dari kemarin pagi ini adalah rahmat Allah yang sedang turun ke bumi. Kepada kita.”

“Kenapa Bunda?”

“Ya coba kamu pikir deh, dengan hujan turun ini, sampah-sampah yang tadinya tersangkut di selokan, di sungai-sungai jadi terbawa hanyut..”

“Tapikan Bunda, jadinya banjir. Jalanan kita jadi jeblok.”

“Nah itu dia. Sebenarnya banjir itu tidak akan terjadi kalau kita mau membuang sampah pada tempatnya. Lagipula, coba Aisyi pikir lagi deh, ada mahluk-mahluk Allah lain yang sangat memerlukan air agar tetap bisa hidup.”

Aisyi mengangguk. “Seperti apa Bunda?”

Bunda melirik ke luar, hujan masih belum berhenti juga. “Ya seperti cacing, ikan, belut, kodok dan lainnya. Bisa Aisyi bayangkan tidak bagaimana kondisi mereka ketika berbulan-bulan lamanya tidak ada hujan turun—waktu kemarau itu?”

Bunda berhenti sejenak, kemudian melanjutkan, “Nah, mereka juga sama seperti kita, kepanasan. Dan dengan adanya air hujan ini, mereka bisa tetap hidup. Karena mereka sangat memerlukan air. Yang lebih kasihan lagi, mereka tidak akan berkembang biak jika tidak ada air.”

Aisyi mengangguk. “Tapi kan Bunda bagusnya sih diselang-seling ya, tidak hujan terus dan tidak kemarau terus…”

Bunda tersenyum. “Aisyi sayang, kalau itu terserah kehendak Allah. Nah, yang paling penting adalah bagaimana kita ini mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita ini. Percayalah, kemarau dan musim hujan sama bermanfaatnya bagi kita…”

“Walau misalnya ketika musim hujan terjadi banjir Bunda?”

Nunda mengangguk, “Betul. Itu artinya Allah sedang menegur kita, itulah akibatnya kalau membuang sampah sembarangan. Nah Aisyi suka buang sampah sembarangan tidak?”

Aisyi terdiam, kemudian berkata, “Nghh, cuma kalau buang bungkus permen saja Bunda. Lagipula ketika itu tidak ada tempat sampahnya, Bunda.”

“Itu juga sama sampah. Sekecil apapun sampah ya tetap sampah. Kelihatan kecil ya? Coba Aisyi pikir deh, jika saja ada seribu orang yang berpikiran sama seperti kamu, maka akan ada seribu bungkus permen yang menjadi sampah. Berserakan di jalan-jalan dan selokan.”

Aisyi terdiam. Ia memandangi Bunda. Bunda kembali bicara, “Nah, jika di dekat kamu tidak ada tempat sampah, bungkus permennya bisa kamu simpan dulu di tas, atau di saku baju kamu.”

Aisyi tersenyum. “Iya Bunda, aku janji tidak akan membuang sampah di mana lagi.”

“Itu anak yang sholehah. Sekarang karena hujannya juga belum berhenti, sambil menunggu reda, lebih baik Aisyi membantu Bunda membersihkan ruang belakang ya?”

“Terus janji dengan teman-teman di sekolah gimana Bunda?”

“Aisyi...” Bunda mengecup kening Aisyi, “Percaya deh, teman-teman kamu pasti mengerti. Lagipula kamu telat juga bukan di sengaja. Nah, kalau setengah jam lagi masih belum reda, nanti ayah deh yang akan mengantar kamu ke sekolah…”

“Terima kasih, Bunda. ..”

Hujan masih terus turun di luar. Aisyi segera menyimpan tasnya di meja, mengikuti Bunda ke belakang.

islampos.com

***

Saturday, October 24, 2015

Kursi kecil bulat berwarna merah

Kursi ini seolah tak bermakna
Tapi taukah yang sesungguhnya?
Bahwa kursi ini punya cerita
Tentang dua anak lelaki yang terlihat begitu ceria

Pagi ini aku tuh ada janji
Satu 'agenda' sampai sore nanti
Yang bahkan buat aku bolos kelas pengganti ^^v
Tapi InsyaaAllah ngga sedikit ilmu yang didapat disini

Nah, ternyata aku kepagian ._.
Padahal dari rumah sudah 'agak' ngaretan
Tapi tetap ontime dong sampai tempat tujuan
Daaaann ternyata malah dateng duluan :'D

Sampai lokasi, aku berdiri
Setelah mematikan mesin motor yang aku kendarai
Segera melihat henpon untuk mengabari
Bahwa aku telah berada di lokasi

Sesaat kemudian mucul pesan lainnya
Yang isinya berkata bahwa 'saya telat sampai sana'
Lalu helaan nafas malah muncul seketika
Tapi bersyukur karena bukan aku yang datang lebih lama~

Ngga lama setelah itu ada dua anak kecil berlari
Mulai mendekat sambil membawa kursi
Dengan lucunya mereka menghampiri
Sambil malu-malu meletakkan sebuah kursi

Tanpa berkata, mereka kembali ke rumahnya
Yang letaknya tepat di seberang sana
Tak lama itu terlihat lagi mereka bersama ayahnya
Kemudian berkata "Abi, koq kursinya ngga didudukin" ._.

Daaaann singkat cerita, duduklah aku di kursi itu
Senyam-senyum gaje teringat kedua anak kecil itu
Kemudian mengetik sambil menunggu
Daaaann bersiap untuk memulai aktivitasku

Terimakasih untuk dua anak lelaki kecil yang ngga sempat aku foto yang telah hadir pagi ini...
Alhamdulillah *o*/

Friday, October 16, 2015

Mentari, sore itu...

***
Jum'at, 04 September 2015  17:30

Ada orang yang sok sibuk, ngerasa dirinya paling sibuk dan paling capek gitu *fyuuuuhh -_-

Sebut saja namanya Mentari.

Siang itu Mentari terlelap tepat 13 menit setelah merebahkan tubuhnya ke ranjang. Ntah mengapa, dia begitu merasa lelah ketika itu. Ia pun tertidur pulas tidak lama kemudian.

Matahari yang sebelumnya menampakkan cahayanya secara perlahan mulai tenggelam. Ya, tanpa disadari saat ini ternyata sudah sore. Tetapi Mentari juga belum terbangun dari tidur panjangnya.

Tetiba dari kejauhan muncul suara gaduh yang kian mendekat. Pada akhirnya, Mentari terbangun karenanya. Karena suara yang ntah dari mana asalnya, yang telah membangunkan bahkan menyelamatkan dari mimpi panjangnya. Katanya.

Diceritakannya bahwa Mentari memimpikan hal-hal yang dirasa menyebalkan pada masa lalunya. Mulai dari ‘pentas seni’, 'hewan liar’, 'berlari’, 'lawan’, 'musuh’, 'perpisahan’ dan semacam itu. Ntah, aku pun tak begitu mengerti. Hanya saja, ada satu hal yang dia simpulkan dari semua itu. Seolah mimpi itu berkata bahkan menantangnya untuk melepas semuanya, semua hal yang ada dalam mimpinya. Begitu katanya.

...
Mentari meninggalkan ruang kamar selama beberapa saat, lalu melihat jam ke arah ponsel.

Kenapa ke ponsel?
Bukankah terdapat jam yang cukup besar di dinding kamarnya?

Sesaat setelah Mentari melihat layar ponsel, rasanya seperti ada hal yang begitu menarik hatinya. Ternyata ada sebuah pesan singkat yang akupun tak tau dari siapa dan berisi pesan yang seperti apa ._.

Hening.

Mentari terdiam sebelum akhirnya mengetik beberapa kalimat balasan.

Wajahnya begitu datar. Tanpa ekspresi sedikitpun.

Aneh -.-

Usai mengetik, dia kembali meletakkan ponsel miliknya itu.

Tunggu dulu, kali ini ada yang berbeda...

Lihat!

Wajah Mentari terlihat begitu sumringah, bercahaya daaaann seketika menghapus tatapan datar yang sebelumnya.

Ada apa?

Kenapa?

Mengapa?

Apa yang terjadi?

Ah, Mentari enggan mengatakannya.

Seketika aku terdiam.

Hal apa yang bisa membuat gadis kecil itu begitu bercahaya, seolah ada suatu hal yang “wah” yang baru saja ia lalui.

Apakah berkaitan dengan pesan singkat yang baru saja diterimanya?

Tetapi, bukankah sampai ketika mengetik balasanpun hanya tatapan datar yang terlihat dari wajahnya?

Ah Mentari, kau gadis kecil yang selalu membuatku bingung...

***